Jadi Fakta Persidangan, KPK Harus Segera Periksa Azis Syamsuddin Dan Fahri Hamzah Dalam Suap Benur - Channel Media Berita Central Indonesia

Senin, 19 Juli 2021

Jadi Fakta Persidangan, KPK Harus Segera Periksa Azis Syamsuddin Dan Fahri Hamzah Dalam Suap Benur

Jadi Fakta Persidangan, KPK Harus Segera Periksa Azis Syamsuddin Dan Fahri Hamzah Dalam Suap Benur

Jadi Fakta Persidangan, KPK Harus Segera Periksa Azis Syamsuddin Dan Fahri Hamzah Dalam Suap Benur


CMBC Indonesia - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk segera memanggil dan memeriksa Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin dan politisi Fahri Hamzah terkait fakta persidangan perkara suap izin budidaya dan ekspor benih bening lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020.
Dalam sidang vonis mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo, Majelis Hakim membeberkan adanya bukti screenshot percakapan WhatsApp antara Edhy dengan anak buahnya agar mempercepat proses perizinan perusahaan yang terkait dengan Azis Syamsuddin dan Fahri Hamzah.

"Saya kira karena kemudian yang membeberkan bukti screenshot adalah hakim, maka hal tersebut telah menjadi fakta persidangan," ujar pakar politik dan hukum Universitas Nasional (Unas), Saiful Anam kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (18/7).

Sehingga kata Saiful, siapapun termasuk Azis Syamsuddin dan Fahri Hamzah yang ada di percakapan WhatsApp yang diungkapkan Majelis Hakim harus dipanggil dan diklarifikasi.

"Termasuk tidak menutup kemungkinan untuk menetapkan tersangka keduanya atas dugaan turut serta dalam dugaan korupsi benur yang melibatkan Edhy Prabowo," kata Saiful.

Dengan demikian, Saiful berharap, KPK harus segera memanggil kedua politisi tersebut agar tidak muncul persepsi buruk di kalangan masyarakat.

"KPK harus cepat memanggil keduanya agar publik tidak bertanya-tanya sejauh apa keterlibatan keduanya agar tidak timbul penafsiran bermacam-macam tentang adanya dugaan keterlibatan baik Azis Syamsudin maupun Fahri Hamzah," pungkas Saiful.

Diketahui, bukti screenshot percakapan WhatsApp itu diungkapkan Majelis Hakim dalam sidang vonis yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (15/7).

Di mana kata Hakim Anggota II, Ali Muhtarom, berdasarkan keterangan saksi Safri dan Andreau Misanta Pribadi selaku Staf khusus (Stafsus) Edhy saat menjabat sebagai Menteri KP di persidangan, terungkap adanya perintah dari Edhy untuk membantu atau mempercepat proses perizinan budidaya dan ekspor dari perusahaan tertentu yang menjadi kolega dari Edhy.

"Hal tersebut diperkuat dengan bukti screenshot WhatsApp antara terdakwa dengan saksi Safri dan saksi Andreau Misanta Pribadi," ujar Hakim Ali.

Screenshot atau tangkapan layar percakapan WhatsApp antara Edhy dengan saksi Safri terjadi pada 15 Mei 2020 sampai dengan 22 Mei 2020.

"Tanggal 15 Mei. (Edhy) 'Saf, itu orangnya Pak Azis Syamsuddin Wakil Ketua DPR mau ikutan budidaya lobster, Novel Esda'.

Dijawab oleh saksi Safri, 'oke bang'. Kemudian tanggal 16 Mei 2020. (Edhy) 'Saf, ini tim Pak Fahri Hamzah mau jualan Lobster, langsung dihubungi dan undang presentasi'. Safri menjawab, 'oke bang'," ungkap Hakim Ali.

"Kemudian ada lagi pada tanggal 19 Mei, terdakwa (Edhy) mengirim WhatsApp kepada saksi Safri 'Saf, yang pak Fahri Hamzah saya dengar mau diundur setelah lebaran, kalau mereka sudah siap besok segera saja selesaikan besok'. Kemudian dijawab oleh saksi Safri, 'oke bang'," sambung Hakim Ali.

Selain itu, Hakim Ali juga mengungkapkan screenshot percakapan WhatsApp antara Edhy dengan Andreau pada 19 Juni 2020.

"Dikirim (oleh Edhy) forwarder permohonan izin budidaya dan ekspor BBL dari PT Sinar Lautan Perkasa Mandiri. Dijawab oleh saksi Andreau Misanta Pribadi, 'siap pak ini sudah kami takenote'," terang Hakim Ali.

Dalam perkara ini, Edhy tetap divonis bersalah melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP meskipun Hakim Anggota I, Suparman Nyompa memiliki pendapat yang berbeda, yakni menganggap Edhy lebih tepat dijerat Pasal 11 UU Tipikor.

Edhy divonis lima tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan.

Edhy juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dolar AS serta dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah menjalani pidana pokoknya.[rmol]




Loading...
loading...

Berita Lainnya

Berita Terkini

© Copyright 2019 cmbcindonesia.com | All Right Reserved