Jokowi Didesak Keluarkan Perppu, Atur Sanksi Pelanggar Social Distancing - Channel Media Berita Central Indonesia

Senin, 23 Maret 2020

Jokowi Didesak Keluarkan Perppu, Atur Sanksi Pelanggar Social Distancing

Jokowi Didesak Keluarkan Perppu, Atur Sanksi Pelanggar Social Distancing

Jokowi Didesak Keluarkan Perppu, Atur Sanksi Pelanggar Social Distancing
CMBC Indonesia - Pemerintah telah menyerukan imbauan social distancing kepada masyarakat untuk mencegah penyebaran virus Corona COVID-19 makin parah. Namun tetap saja, masih ada warga yang tak patuhi imbauan tersebut, bahkan tetap berkerumun.
Untuk mengatasi masalah masih membandelnya warga yang tak mengindahkan aturan social distancing, Presiden Joko Widodo (Jokowi) didesak menerbitkan Perppu Karantina Kesehatan yang didalamnya mengatur perihal social distancing.

"Menurut saya, pemerintah daerah bisa menggunakan diskresinya melalui polisi pamong praja bersama polisi melakukan tindakan memaksa dalam konteks penegakan ketertiban umum dalam situasi Tanggap Darurat Wabah Corrona. Tindakan ini bisa dilakukan jika lockdown tidak dilakukan," kata Pakar Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi Minggu (22/3/2020).

Abdul Fickar kemudian mengatakan jika kemudian harus ada dasar hukum agar social distancing bersifat memaksa, maka pemerintah dapat memberlakukan karantina wilayah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Di situ, warga yang tak patuh terhadap aturan apat dipidana paling lama setahun dan denda maksimal Rp 100 juta.

"Pasal 1 Angka 10-nya menjelaskan istilah Karantina Wilayah, berarti pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Ancaman pidana bagi yang tidak patuh diatur di Pasal 93, 'Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta," papar Abdul Fickar.

Dia melanjutkan, pemerintah dan DPR juga bisa mengamandemen UU Karantina Kesehatan dengan memasukan ketentuan tentang sosial distancing sekaligus sanksi di dalamnya. Menurut Abdul Fickar, jika prosedurnya terlalu panjang dan kepatuhan atas social distancing mendesak maka Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).

"Bisa mengamandemen UU Nomor 6/2018 tentang Karantina Kesehatan dengan memasukan ketentuan tentang social distancing sekaligus sanksinya. Caranya bisa dengan legislatif review DPR bersama Pemerintah membahas dengan cepat, seperti perubahan UU KPK yang cuma 2 minggu, atau jika tidak memungkinkan karena prosedur terlalu panjang, maka Presiden bisa langsung menerbitkan Perppu," jelas dia.

Abdul Fickar menilai Perppu terkait aturan social distancing ini penting dilakukan Jokowi untuk menyelamatkan rakyat. Terakhir, Abdul Fickar menyampaikan program-program pemerintah tak ada gunanya jika keselamatan rakyat tak terjamin.

"Hal ini menjadi signifikan dilakukan presiden, menyelamatkan kesehatan dan keselamatan rakyat secara menyeluruh. Tidak ada gunanya program kartu kerja, infrastruktur, omnibus law, pemindahan ibu kota atau program program ambisius lainnya jika kesehatan seluruh masyarakat terancam dan tidak terjamin. Wabah corona tidak pilih kasih. Menteri, walikota apalagi rakyat kecil atau siapapun bisa kena. Keselamatan rakyat adalah konstitusi tertinggi di sebuah negara," pungkas Abdul Fickar.

Senada dengan Abdul Fickar, pakar hukum Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Umar Husein juga berpendapat pemerintah harus keluarkan aturan tegas soal social distancing, semisal dalam wujud Perppu. Maklumat Kapolri yang mengatur ditiadakannya kegiatan yang menimbulkan kerumunan dianggap tak kuat dijadikan landasan untuk memproses hukum warga yang tak patuh.

"Imbauan otoritas sipil untuk tidak berkumpul selama ini masih imbauan. Justru yang merespon kepolisian dalam bentuk maklumat, nah polisi itu tugasnya bukan buat hukum, tapi dia pelaksana hukum. Posisi hukumnya (Maklumat Kapolri) dalam hierarki perundang undangan itu nggak ada, Maklumat Kapolri itu tidak dikenal. Sebagai kebijakan internal (Polri) boleh," terang Umar.

"Misalkan kejadian polisi menindak, lalu dasar hukumnya apa? Masa maklumat? Yah nggak bisa. Idenya bagus, tinggal disempurnakan gimana itu ditarik ke Perppu kalau UU kelamaan," imbuh Umar.

Umar menjelaskan Perppu adalah wujud hukum maklumat Presiden. "Harusnya apa yang ada di maklumat itu dikeluarkan oleh pemerintah sipil, terutama Presiden," sambung Umar.

Menurut Umar, masyarakat tak patuh dengan imbauan social distancing karena masyarakat tak patuh dan menganggap beraktivitas di luar rumah sebagai hak asasinya. Padahal, lanjut Umar, hak asasi dapat dipinggirkan juga berbenturan dengan keselamatan orang banyak.

"Ya karena bandel, harus digituin (terapkan aturan hukum). Imbauan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI, cuma karena nggak ada dasar hukum, gimana. Ini kan sudah lama, diskusi ini kan sudah di dunia, nggak hanya di sini aja. Itu kan hak asasi orang ke luar, cuma hak asasi saat dibenturkan dengan keselamatan warga, maka harus minggir hak asasi gitu loh. Jangan berpikir saya nggak apa kena, bukan. Anda bisa berpotensi menularkan, gitu," tandas Umar.(dtk)




Loading...
loading...

Berita Lainnya

Berita Terkini

© Copyright 2019 cmbcindonesia.com | All Right Reserved