Oleh:Anita Karolina
SAAT ini publik sedang dibuat ramai oleh keberadaan salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) dari 50 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020, yaitu RUU tentang Ketahanan Keluarga. RUU tersebut saat ini sedang dalam proses harmonisasi di Badan Legislatif DPR RI sebelum masuk ke tahap pembahasan.
Sebelumnya, RUU tersebut diusulkan oleh lima orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yaitu Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Sodik Mudjahid dari Frakti Partai Gerindra, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.
Meskipun Fraksi Partai Golkar telah mencabut dukungan karena merasa “kecolongan”, namun hal tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Banyak pihak merasa bahwa keberadaan RUU ini tidak diperlukan. Bahkan ada yang merasa bahwa dengan adanya RUU ini akan menyebabkan banyak masalah baru. Alih-alih menuntaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang telah diperjuangkan oleh banyak pihak sejak lama, DPR RI malah menambah daftar panjang RUU baru yang tidak penting untuk dibahas.
Dorongan dari berbagai pihak untuk segera mengesahkan RUU PKS tidak lantas membuat DPR RI berhasil mengesahkannya di tahun 2019 lalu, sehingga harus ditunda hingga 2020. Padahal, RUU PKS ini memiliki urgensi tinggi untuk segera disahkan.
Kehadiran RUU PKS akan mengisi kekosongan hukum terkait kebijakan non penal yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pencegahan kekerasan seksual dan pemulihan korban.
Kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan beragam, serta terjadi di lintas ruang. Kekerasan seksual terhadap perempuan sudah tidak lagi mengenal usia, latar belakang pekerjaan, lokasi terjadinya kekerasan, maupun hubungan korban dengan pelaku.
Seperti yang tertuang dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (Catahu) tahun 2019, kekerasan seksual terhadap perempuan bisa terjadi di ranah domestik ataupun publik, seperti KDRT, incest, marital rape, maupun kekerasan dalam pacarana (KDP).
Dalam ranah cyber, perempuan juga rentan menjadi korban, kasus paling banyak yaitu pada revenge porn dan malicious distribution. Artinya, dari uraian tersebut, undang-undang khusus yang mengatur tentang kekerasan seksual sangat dibutuhkan.
RUU tentang Ketahanan Keluarga menuai banyak sorotan. Beberapa pasal juga menjadi pasal yang kontroversi. Pertama, adanya UU Ketahanan Keluarga akan sangat mendiskriminasi peran-peran perempuan.
Pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga menyebutkan kewajiban istri antara lain wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; menjaga keutuhan keluarga; memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kewajiban suami sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.
Bunyi pasal-pasal tersebut terdengar sangat patriarkis dan penuh diskriminasi terhadap perempuan. Pasal ini menjadi parameter kemunduran bagi apa yang telah diperjuangkan para pejuang hak-hak perempuan terdahulu.
Melalui pasal ini, perempuan Indonesia diajak mundur 70 tahun ke belakang, sebelum adanya Gerwani dan organisasi perempuan lain yang memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki.
Hal terkait ini sudah sangat usang untuk dibicarakan kembali, karena sudah tidak relevan. Banyak keluarga modern menerapkan baik suami ataupun istri sama-sama memiliki tanggung jawab untuk memenuhi keperluan hidup dalam berumah tangga.
Kedua, RUU Ketahanan Keluarga terlalu masuk ke ranah privat keluarga. Peraturan yang dibuat negara boleh memasuki ranah privat jika terdapat kekerasan didalamnya, misalnya terjadi kekerasan terhadap istri di dalam rumah tangga yang diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Kekerasan yang terjadi terhadap istri bukan merupakan urusan privat, karena istri juga merupakan warga negara yang berhak merasa aman dan terbebas dari kekerasan dalam bentuk apapun.
Pasal 24 pada RUU Ketahanan Keluarga menyebutkan setiap suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain. Pasal ini terlalu masuk ke ranah privat karena turut mengatur perasaan individu satu terhadap lainnya.
Selain itu, Pasal 33 juga dinilai terlalu masuk ranah privat karena mengatur pemisahan ruang tidur antara orang tua dengan anak, dan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Netty Prasetiyani sebagai pengusul mengungkapkan tujuan pemisahan ruang tidur tersebut adalah untuk menghidari terjadinya incest (hubungan sedarah).
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2019, kasus incest menjadi kasus tertinggi kekerasan dalam ranah privat dengan pelaku terbanyak adalah ayah dan paman korban.
Hal tersebut terjadi karena adanya relasi kuasa pelaku atas korban, sehingga sang ibu pun kesulitan untuk melaporkan karena menjaga nama baik keluarga masih mengakar kuat di Indonesia. Incest dapat dihindari dengan memberikan pendidikan seks kepada anak sejak usia dini.
Kondisi objektif masyarakat kita, memberikan pendidikan seks sejak dini masih dianggap tabu oleh banyak orang tua di Indonesia. Padahal, dengan memberikan pendidikan seks sejak dini, anak dapat melindungi organ intimnya sendiri dan bisa memiliki sikap bagaimana bergaul dengan sehat.
Hal-hal sederhana juga bisa diajarkan sejak dini, seperti organ intim mana yang tidak boleh disentuh orang lain, atau siapa yang boleh membuka bajunya. Alih-alih membuat peraturan yang memisahkan ruang tidur, para pengusul baiknya membuat rumusan materi pendidikan seks untuk masing-masing usia atau jenjang pendidikan anak.
Ketiga, homoseksual (gay dan lesbian) dianggap sebagai penyimpangan seksual dan wajib menjalankan rehabilitasi. Pasal 74 menyebutkan penyimpangan seksual sebagai salah satu penyebab terjadinya krisis keluarga.
Kemudian di Pasal 85, disebutkan bahwa terjadinya krisis keluarga yang disebabkan karena penyimpangan seksual wajib melaksanakan penanganan berupa rehabilitasi sosial, psikologis, medis dan/atau bimbingan rohani.
Disini, anggota dewan yang mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga bahkan tidak bisa membedakan antara orientasi seksual dengan penyimpangan seksual. Orientasi seksual sendiri adalah pilihan atau preferensi untuk menjalin relasi dan ketertarikan secara fisik, seksual, emosional, dan romantisme yang ada pada setiap manusia. Sedangkan penyimpangan seksual adalah pemilihan objek seks yang tidak wajar.
Asosiasi Psikiater Amerika menghapuskan homoseksual sebagai bentuk gangguan jiwa pada tahun 1975, kemudian diikuti oleh Indonesia yang menghapuskan homoseksual sebagai gangguan jiwa di dalam Pedoman Pengelolaan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III. Artinya, homoseksual bukanlah kelainan seksual ataupun gangguan jiwa sehingga tidak perlu menjalankan rehabilitasi.
Keempat, beberapa pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga tumpang tindih dengan aturan lain yang sudah ada di Indonesia. Seperti pada Pasal 31 yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan. Dan pada Pasal 32 yang berbunyi setiap orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
Hal tersebut telah diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah yang diatur dalam Pasal 127, termasuk surogasi atau sewa menyewa rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Juga, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Dari beberapa pertimbangan tersebut, penulis mempertanyakan peruntukan pengusulan RUU Ketahanan Keluarga ini untuk siapa?
Jika tujuannya untuk menyiapkan dan menghasilkan generasi unggul, maka penulis sama sekali tidak melihat adanya poin bagaimana mempersiapkan SDM unggul, malah melanggengkan ketidaksetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki.
Maka dari itu, penulis menilai RUU tentang Ketahanan Keluarga tidak perlu dibahas lebih lanjut, dengan kata lain penulis tidak melihat urgensi dari keberadaan RUU tersebut. Lebih baik, DPR RI segera mensahkan RUU PKS yang sudah sangat jelas urgensi dan kebutuhannya.
(Pengurus KOPRI PB PMII 2017-2019 dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia)
Loading...
loading...