Hak Impunitas di UU Corona Jadi Ganjalan Wacana Hukuman Mati di Kasus Bansos? - Channel Media Berita Central Indonesia

Rabu, 09 Desember 2020

Hak Impunitas di UU Corona Jadi Ganjalan Wacana Hukuman Mati di Kasus Bansos?

Hak Impunitas di UU Corona Jadi Ganjalan Wacana Hukuman Mati di Kasus Bansos?

Hak Impunitas di UU Corona Jadi Ganjalan Wacana Hukuman Mati di Kasus Bansos?


CMBC Indonesia - Juliari Batubara diduga menerima suap berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial (bansos) wilayah Jabodetabek. Selepas ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, dorongan dari berbagai pihak muncul agar Menteri Sosial (Mensos) nonaktif itu dikenakan pasal dengan ancaman hukuman mati, kenapa?
Hukum di Indonesia memungkinkan seorang yang melakukan tindak pidana korupsi dijerat dengan ancaman hukuman mati tetapi harus ada unsur-unsur yang memenuhinya. Berikut penjelasannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor), tepatnya pada Pasal 2 disebutkan sebagai berikut:


Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan Pasal 2 ayat (2)

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.


Juliari Batubara sendiri tidak dijerat KPK dengan pasal di atas. Dalam konferensi pers pada Minggu, 6 Desember 2020 dini hari, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan bila Juliari Batubara disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Berikut penjelasan pasal yang menjerat Juliari:

Pasal 12 huruf a dan huruf b

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000:
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000 pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12 huruf i

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000:
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.


Bila diperhatikan pada pasal yang dikenakan untuk Juliari disebutkan ancaman hukuman tertingginya adalah seumur hidup. Unsur-unsur pidana yang menjerat Juliari Batubara pun berkaitan dengan pemberian suap, bukan perihal korupsi yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara.

Namun ada dorongan dari publik agar KPK melakukan kajian agar pasal 2 ayat 2 UU Tipikor bisa diterapkan. 

Di sisi lain berbagai argumen muncul ke publik agar KPK menerapkan pasal 2 ayat 2 UU Tipikor pada Juliari Batubara. Salah satunya muncul dari Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo yang menduga ada peran aktif Juliari Batubara meminta jatah terkait proyek bansos serta mendasarkan pada situasi pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional nonalam.

"Dalam kasus a quo, terdapat dugaan kuat adanya perbuatan untuk memperkaya diri secara melawan hukum yang dilakukan pada saat keadaan darurat pandemi COVID-19. Oleh karena itu, KPK harus berani dengan bukti-bukti yang harus terus dicari untuk menerapkan ketentuan Pasal 2 UU Tipikor baik ketentuan ayat (1) dan terkhusus Pasal 2 ayat (2) terkait sanksi pidana mati," kata Trisno.


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md pun sepakat bila KPK mengkaji penerapan pasal dengan ancaman hukuman mati dalam perkara itu. Namun Mahfud meminta agar kajian itu dilakukan secara cermat.

"Setuju, KPK mendalami dan menjajaki kemungkinan pasal 2 ayat (2) dengan ancaman hukuman mati," kata Mahfud kepada detikcom, Senin (7/12/2020).

"Setuju saja. Tapi tetap harus cermat," imbuhnya.


Namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Corona) terdapat klausul mengenai hak impunitas para pejabat berkaitan dengan penggunaan dana penanganan COVID-19. Hal itu juga sempat disinggung oleh Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Satria Unggul Wicaksono.

"Akar masalahnya sebenarnya terletak dari impunitas yang diformalkan atau yang dilindungi oleh hukum setelah lahirnya Perppu COVID-19 atau kita kenal Perppu Nomor 1 Tahun 2020, dan UU Nomor 2 Tahun 2020," kata Satria.


"Di salah satu pasal itu disebut bahwa penyelenggara untuk penanganan COVID ini tidak boleh digugat secara pidana, perdata atau administrasi. Ini yang justru menjadi celah adanya impunitas yang kemudian dilanggengkan dalam penggunaan bansos," imbuh Satria.

Secara sederhana hak impunitas merupakan hak untuk tidak dapat dipidana. Dalam UU Corona memang disebutkan mengenai hal itu tepatnya pada Pasal 27 ayat (1) dan (2). Berikut penjelasannya:


Pasal 27

(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.


Melihat perkembangan yang ada di publik, KPK tidak menutup mata. Lantas apakah KPK sepakat untuk mendalami unsur-unsur pidana lain pada Juliari Batubara berkaitan dengan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor?


Menjawab seruan sejumlah kalangan itu, KPK mengaku masih mendalami penerapan pasal ancaman hukuman mati itu. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan saat ini KPK berfokus pada perkara yang sudah ada dulu yaitu dugaan penerimaan suap oleh Juliari Batubara.

"Kami mengikuti apa yang menjadi diskusi media terkait dengan pasal-pasal khususnya Pasal 2 ayat 2, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Tentu kita akan dalami terkait dengan apakah Pasal 2 itu bisa kita buktikan terkait dengan pengadaan barang dan jasa," ujar Ketua KPK Firli Bahuri.


"Karena unsur-unsurnya adalah satu, setiap orang ada pelaku, kedua perbuatan sifat melawan hukum dengan sengaja untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara atau kerugian negara, atau perekonomian negara. Itu kita dalami tentang proses pengadaannya," imbuhnya.

Dalam perkara Juliari, ada tersangka lain yang juga dijerat yaitu Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian IM, dan Harry Sidabuke. Dua nama pertama merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kementerian Sosial (Kemensos), sedangkan 2 nama lainnya adalah sebagai swasta.

KPK menduga Juliari Batubara menerima jatah Rp 10 ribu dari setiap paket sembako senilai Rp 300 ribu per paketnya. Total setidaknya KPK menduga Juliari Batubara sudah menerima Rp 8,2 miliar dan Rp 8,8 miliar.

"Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang-lebih sebesar Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS (Matheus Joko Santoso) kepada JPB (Juliari Peter Batubara) melalui AW (Adi Wahyono) dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar," ucap Firli.

"Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB," imbuh Firli.(dtk)




Loading...
loading...

Berita Lainnya

Berita Terkini

© Copyright 2019 cmbcindonesia.com | All Right Reserved