PBNU Sebut RUU HIP Berpotensi Hidupkan Orba dan Picu Konflik - Channel Media Berita Central Indonesia

Kamis, 18 Juni 2020

PBNU Sebut RUU HIP Berpotensi Hidupkan Orba dan Picu Konflik

PBNU Sebut RUU HIP Berpotensi Hidupkan Orba dan Picu Konflik

PBNU Sebut RUU HIP Berpotensi Hidupkan Orba dan Picu Konflik
CMBC Indonesia - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak DPR segera menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj menilai RUU tersebut tidak relevan dan dapat menimbulkan potensi konflik di tengah masyarakat.

"RUU tersebut ada yang bertentangan, mempersempit tafsir, tidak relevan, tidak urgen, dan menimbulkan konflik," kata Said dalam keterangan resminya seperti dikutip dari situs nu.or.id Rabu (17/6).

Ketua PBNU Bidang Hukum dan Perundang-undangan Robikin Emhas menyampaikan secara rinci beberapa alasan PBNU agar proses legislasi RUU HIP dihentikan.

Robikin menyatakan Pancasila merupakan perjanjian agung, tersusun dari lima sila yang memuat nilai-nilai luhur yang saling menjiwai dan satu kesatuan.

Ia menyatakan sila Ketuhanan menjiwai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial itu tidak bisa diperas lagi menjadi trisila atau ekasila.

"Upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila akan merusak kedudukan Pancasila, baik sebagai philosophische grondslag (falsafah dasar) maupun staatsfundamentalnorm (hukum dasar) yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945," kata Robikin.

Robikin juga menyebut ada obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif, yang bisa menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat.

"Obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru yang praktiknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat," kata dia. 

Menurut Robikin, Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu. Pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.

Selain itu, Robikin beranggapan Pancasila adalah hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebagai hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan, kata dia, Pancasila tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

"Pengaturan Pancasila ke dalam sebuah undang-undang akan menimbulkan anarki dan kekacauan sistem ketatanegaraan," kata dia

Robikin menilai Pancasila merupakan ideologi prinsip yang menjiwai sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara. Penerjemahan Pancasila sebagai ideologi kerja selalu mempertimbangkan dinamika dan perkembangan zaman.

Menurutnya, pembakuan tafsir atas Demokrasi Pancasila dalam suatu undang-undang jelas akan mempersempit ruang tafsir yang memandekkan kreativitas, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman.

"Bahwa kesalahan yang terjadi di masa lampau terkait monopoli tafsir atas Pancasila tidak boleh terulang lagi. Kendati demikian hal ini bukan merupakan dasar dan alasan yang dapat membenarkan perluasan dan/atau penyempitan tafsir atas Pancasila dalam suatu undang-undang yang isinya mengatur demokrasi politik Pancasila dan demokrasi ekonomi Pancasila sebagaimana RUU HIP," kata Robikin

Melihat persoalan tersebut serta mencermati Naskah Akademik dan draf RUU HIP, Robikin menyampaikan penilaian terhadap Pasal 3 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 RUU HIP yang menurutnya bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.

Sementara itu, Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 RUU HIP akan mempersempit ruang tafsir yang menjurus pada monotafsir Pancasila. Lalu Pasal 22 terkait pembangunan nasional dan turunannya tidak relevan diatur dalam RUU HIP.

Sedangkan Pasal 23 RUU HIP yang berkaitan dengan perwujudan pembangunan nasional di bidang agama, rohani dan kebudayaan dapat menimbulkan benturan norma agama dan negara.

Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 disebutnya sebagai bentuk tafsir ekspansif Pancasila yang tidak perlu. Lalu Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik kepentingan.

"Nahdlatul Ulama memandang bahwa Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang bersifat final," kata Robikin

Sebelumnya, pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah telah memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP dengan DPR.

Mahfud juga meminta DPR sebagai pengusul pembahasan RUU tersebut agar berdialog dengan masyarakat dulu. []




Loading...
loading...

Berita Lainnya

Berita Terkini

© Copyright 2019 cmbcindonesia.com | All Right Reserved