CMBC Indonesia - Desa Kanigoro terletak di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, 16 km dari pusat kota. Sejarah Indonesia lebih mengenalnya sebagai tempat terjadinya Peristiwa Kanigoro.
Peristiwa Kanigoro diingat sebagai bukti kekejian Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada umat Islam. Peristiwa Kanigoro meletus di awal era yang disebut Bung Karno sebagai tahun vivere pericoloso (menyerempet bahaya) 1965.
Pada 1960-an, menurut Sari Emingahayu dalam Sisi Senyap Politik Bising (2007: 84-86), “Kanigoro terkenal sebagai basis PKI.” Kawasan ini penghasil tebu untuk Pabrik Gula Ngadirejo. Buruh tani di sana kebanyakan berafiliasi dengan Barisan Tani Indonesia (BTI).
Di masa itu, gerakan dan mobilisasi partai politik makin meningkat, baik berupa kampanye maupun pawai. Hebatnya, meski sudah tahu Kanigoro adalah basis PKI, Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Timur berbesar nyali mengadakan Mental Training (Mantra) di desa itu. PII merupakan organisasi yang terkait dengan Partai Masyumi. Sejak 1960, status Masyumi adalah terlarang.
“Pertanyaan yang sulit terjawab adalah mengapa PII mengadakan kegiatan dengan kapasitas kegiatan yang cukup besar di tengah-tengah basis PKI?” tulis Sari Emingahayu.
Meski sulit dijawab, Sari Emingahayu tak lupa menyebut “ada konspirasi yang berkembang di seputar penyelenggaraan Mantra tersebut, di mana elit-elit PII telah dapat perintah dari Jenderal Nasution agar mengintensifkan kegiatan-kegiatan mantra di daerah-daerah basis PKI.” Kanigoro salah satunya.
Setidaknya PPI mengantongi izin, termasuk surat Nomor Sek.77/U/28/A.A dari Kantor Kabupaten, serta jaminan dari Camat Kras, Kepala Sektor Polisi, Komandan Urusan Teritorial Perlawan Rakyat (Koramil) Kras. Tokoh Nahdlatul Ulama H. Said jadi penasehat acara. Tempat yang digunakan PII adalah sekitar langgar (musala) K.H. Jauhari.
Acara dimulai sejak 9 Januari 1965, tepat di bulan puasa. Pesertanya berjumlah 127 dan panitianya 36 orang. M. Samelan, mantan aktivis Masyumi, yang direncanakan akan mengisi ceramah, rupanya kena larangan dari Komandan Kodim Kediri. Namun Anis Abiyoso, panitia yang merupakan Pengurus PII Jawa Timur, memaksa ceramah Samelan dilakukan.
Itulah rupanya yang bikin gerah BTI dan Pemuda Rakyat. Puncaknya, pada 13 Januari 1965, tepat hari ini 53 tahun lalu, Mantra PII di Kanigoro itu pun digeruduk.
Digeruduk, Diarak, Lalu Dibalas
Usai sahur di sepertiga terakhir Ramadhan 1384 itu mencekam. Peristiwa tersebut terjadi pada pukul 04.30 pagi, ketika kaum Muslim menunaikan salat Subuh. Anis Abiyoso tak pernah lupa kejadian yang disebut Peristiwa Kanigoro itu. Dia menuliskan kisahnya dalam buku berjudul Teror Subuh di Kanigoro (1995), yang ditulis bersama Ahmadun Yosi Herfanda.
“Karena agak kelelahan, saya dan beberapa teman bersembahyang di asrama. Dingin udara dan air wudhu yang menggigilkan tubuh tak mengurangi kekhusyukan salat kami,” tulis Anis Abiyoso (hlm. 1). Sayangnya, kekhusyukan itu diganggu para penggeruduk. Anis ingat ada suara tembakan yang memecah keheningan di subuh yang dingin.
“Ketika saya sedang dalam posisi duduk tasyahud, tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras. Pintu kamar saya didobrak, diiringi teiakan-teriakan 'Bunuuuh! Bunuuuh! Ganyanggg!' Saya membaca shalawat dan salam. Salatpun selesai, dan sebuah tendangan menghantam punggung saya,” lanjut Anis.
“Bangun, ayo! Bangun!” teriak penggruduk. Mereka berpakaian lusuh dan bersenjata tajam. Anis yakin, gerombolan penggeruduk itu pasti masuk masjid tanpa lepas alas kaki. Sepatu-sepatu dan sandal-sandal, juga kaki telanjang yang kotor, menginjak lantai masjid seenaknya.
Seperti tercatat dalam Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya (2009: 129), yang dirilis Pusat Sejarah TNI (Pusjarah), jumlah penggeruduk adalah 2000 orang. Dengan jumlah sebanyak itu, membubarkan para pelajar yang hanya ratusan orang bukan hal sulit. Apalagi dengan senjata tajam.
“Saya sempat melihat, salah seorang di antara mereka mengambil Al-Quran, merobek-robeknya, membantingnya ke lantai, dan menginjak-injaknya,” aku Anis. Ia dibawa keluar, terlihat olehnya ribuan massa. Para penggeruduk itu tak lupa mengikat orang-orang yang mereka temukan. Anis melihat ada kawannya yang kena gebuk juga.
“Bunuh! Ganyang! Hidup PKI! Hidup BTI! Balas Peristiwa Madiun! Ganyang antek Nekolim! Ganyang antek Malaysia! Ganyang santri!” teriak para penggeruduk.
Menurut Sari Emingahayu, pimpinan BTI yang terlibat adalah Suryadi dan Pemuda Rakyat dipimpin oleh Harmono (hlm. 86). Dua kelompok ini punya sekutu di kalangan pelajar, yakni Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Setelah penggerudukan, sekitar 98 peserta dan panitia diarak ke kantor polisi. Dari tempat kejadian ke kantor polisi berjarak 7 km. Ribuan orang menyaksikan penggiringan itu. Dalam rombongan yang diarak juga terdapat K.H. Jauhari.
Mereka tiba sekitar pukul 07.00. Kepada Polisi, para penggeruduk menyerahkan para anggota PII nan malang itu. Bulan puasa membuat mereka harus lebih kuat. Selain mesti menahan lapar, mereka juga harus sabar menerima nasib yang malang itu.
“Yang mengherankan kemudian adalah bahwa seluruh personil Polsek telah kelihatan siap sedia dalam keadaan siaga. Dari situ kemudian diisukan bahwa kepolisian telah berpihak kepada kelompok kiri atau PKI,” tulis Sari Emingahayu.
Kabar Peristiwa Kanigoro dengan cepat menyebar. Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU di Kediri mendengar hal itu dan bersiap. Gus Maksum, putra K.H. Jauhari, pegang komando.
Lima hari kemudian, delapan truk Banser dikerahkan menyerang desa Kanigoro. Kini giliran BTI dan Pemuda Rakyat jadi sasaran. Beritanya pun menyebar juga. Polisi lalu mengambil langkah untuk meredam keadaan dengan menangkap Suryadi dan Harmono pada akhir Januari 1965.
Pada 1 Februari 1965, rapat akbar digelar ratusan anggota PII. Rapat dilanjutkan dengan pelemparan kantor PKI, yang merupakan induk dari Pemuda Rakyat dan BTI. Anis Abiyoso menjadi buronan polisi gara-gara kejadian ini. Akhirnya, Anis menyerahkan diri pada 12 Februari 1965 di Malang. Kasus pun danggap selesai. []
Loading...
loading...